CeritaRakyat dari Sulawesi Tenggara Ksatria Dan Burung Garuda Beberapa orang wakil dari penduduk kembali mendatangi Larumbalangi. Mereka menceritakan bencana baru yang menyerang desa mereka. Larumbalangi terdiam sejenak sebelum kemudian berkata, ""Pulanglah kalian sekarang. Musibah ini akan segera berakhir."
Hampir setiap daerah memiliki cerita rakyat, namun tidak semuanya populer dan diketahui di seluruh Sumatera Selatan. Beberapa cerita rakyat di Sumatera Selatan yang paling populer di antaranya Sipahit Lidah atau Serunting Sakti, Bujang Kurap dan Putri Kemarau . Baca Juga. Palembang Berpotensi Hujan Sedang Siang - Malam Hari.
Sulawesi sendiri terbagi menjadi 6 (enam) bagian yaitu Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Dibeberapa tempat di Sulawesi memiliki tradisi unik yang wajib kalian tahu apabila ingin ke Sulawesi, berikut penulis akan membahas beberapa tradisi yang ada di Sulawesi Selatan.
"Banyak kandungan nilai, makna filosofi, cerita, dan peristiwa sejarah yang bisa ditelusuri, diteliti, dan dimaknai dari perjalanan Oputa yi Koo. Keberaniannya melawan segala bentuk penindasan serta penghianatan, memicu optimisme dan semangat patriotisme para pengikutnya," kata Gubernur Sultra Ali Mazi, SH saat memberi testimoni menyambut hari
J.K. Tumakaka - mantan Menteri Indonesia. Adhyaksa Dault - mantan Menteri Indonesia. Rajawali Pusadan - mantan Kepala Daerah Otonom (1949-1952) Mohammad Jasin - mantan Gubernur Sulawesi Tengah. Eddy Sabara - mantan Gubernur Sulawesi Tengah. Ghalib Lasahido - mantan Gubernur Sulawesi Tengah. Abdul Azis Lamadjido - mantan Gubernur Sulawesi Tengah.
Keseniantradisional Sulawesi Utara ini mengandung cerita rakyat tentang desa Tatengesan, yakni sebuah desa yang berada di kecamatan Pusomaen, kebupaten Minahasa Tenggara. Diceritakan bahwa warga Tatengesan dahulu harus melawan bajak laut asal perairan Filipina yang kerap mengganggu warga pesisir.
. Makassar - Salah satu cerita rakyat Sulawesi Tenggara yang cukup populer adalah cerita tentang asal-usul Gunung Mekongga. Cerita rakyat ini masih hidup dan dipercaya di kalangan masyarakat secara Mekongga adalah sebuah gunung tertinggi yang ada di Provinsi Sulawesi Tenggara. Bahkan gunung ini pun termasuk ke dalam 7 gunung tertinggi yang ada di Pulau yang terletak di Kabupaten Kotala ini kerap menjadi incaran para pendaki dari berbagai daerah. Puncak tertingginya bernama puncak Masero-sero dengan ketinggian mencapai 2,620 mdpl. Di balik kokohnya Gunung Mekongga ini, terdapat cerita rakyat yang dipercaya sebagai asal-muasal tempat tersebut. Yakni legenda tentang seekor burung elang raksasa yang bernama seperti apa cerita rakyat tentang asal-usul Gunung Mekongga yang merupakan salah satu cerita rakyat dari Sulawesi Tenggara? Berikut kisah selengkapnya dirangkum detikSulsel dari laman Perpustakaan Digital Budaya pada jaman dahulu di Negeri Sorume sekarang Kolaka, Sulawesi Tenggara hiduplah seekor burung garuda raksasa bernama Burung Kongga. Burung tersebut selalu membuat kekacauan di desa ia akan terbang dan memangsa hewan-hewan ternak milik penduduk desa. Bahkan jika ia tidak menemukan hewan, ia akan menculik seorang manusia dan penduduk merasa resah dan ketakutan dibuatnya. Semakin hari ternak-ternak milik warga perlahan semakin habis itulah penduduk Sorume pun mencari cara untuk mengatasi burung Kongga di sebuah negeri seberang bernama negeri Solumba sekarang Balandete, terdengarlah kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna. Ia bernama adalah seorang tokoh yang datang dari tanah Luwu. Ia adalah kerabat dekat Sawerigading, yang merupakan tokoh penting nenek moyang orang dikutip dari laman resmi Kabupaten Kolaka, Sawerigading hidup sekitar abad XIV. Ia adalah cucu Batara Guru yang diutus oleh para Dewata untuk turun ke dunia dan memerintah di tanah Luwu kemudian menyebar ke beberapa wilayah, termasuk Sulawesi adalah keluarga dekat Sawerigading yang kemudian berangkat ke Tanah Alau Negeri di Timur. Tana Alau adalah sebutan orang Luwu untuk wilayah Sulawesi Tenggara karena mereka melihat matahari terbit di pagi hari ke arah di Tanah Alau, Ia pun menetap dan mendirikan kerajaan di Negeri Solumba. Di mana wilayah tersebut didiami oleh masyarakat yang menyebut dirinya 'Orang Tolaki' yang berarti orang-orang para penduduk di Sorume pun lantas mengirim utusan ke Negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. Serta bermaksud meminta kesediaan Larumbalangi untuk membantu mengusir burung elang Raksasa di negeri Solumba, para utusan itupun kemudian menceritakan mengenai peristiwa yang menimpa negeri mereka pada Larumbalangi. Ia pun memberikan saran pada penduduk Sorume untuk menggunakan bambu runcing untuk melawan si burung Kongga raksasa."Untuk mengatasi garuda raksasa, kalian harus menggunakan strategi yang tepat. Kumpulkanlah oleh kalian bambu tua kemudian buat ujungnya menjadi runcing. Olesi juga ujungnya dengan racun. Carilah seorang pemberani di negeri kalian untuk melawan si garuda raksasa. Pagari ia dengan bambu runcing. Jadi apabila burung Kongga menyerang, ia akan tertusuk oleh bambu beracun tersebut," kata utusan pun berterima kasih atas saran tersebut. Bergegaslah mereka pulang ke Negeri Sorume untuk melaksakan wasiat bambu runcing di Sorume, para utusan menceritakan saran Larumbalangi itu kepada para para tetua ada pun segera mengadakan sayembara guna mencari laki-laki pemberani untuk melawan burung raksasa tersebut menjanjikan bahwa siapapun yang bisa melawan si Burung Kongga Raksasa, jika ia adalah seorang rakyat jelata maka akan diangkat menjadi Bangsawan. Dan jika ia dari kalangan bangsawan, maka akan diangkat menjadi pemimpin hari Sayembara tersebut diadakan, ratusan pendekar dari berbagai wilayah untuk mengikutinya. Setiap orang menunjukkan kemampuannya di depan para tetua dan sesepuh negeri setelah melalui persaingan dan pemilihan yang ketat, terpilihlah seorang pemenang yang bernama Tasahea. Ia adalah seorang rakyat biasa namun pemberani dari negeri para sesepuh kemudian meminta penduduk untuk membuat bambu runcing yang diujungnya diolesi racun. Selanjutnya bambu-bambu runcing itu pun ditancapkan di Padang kemudian dimasukkan ke dalam lingkaran yang dikelilingi bambu beracun. Ia kemudian ditinggalkan sendirian untuk memancing si burung Garuda Raksasa berjam-jam Tasahea berdiri di dalam bambu runcing, namun burung garuda raksasa belum juga kelihatan. Hingga pada saat siang hari, tiba-tiba saja cuaca yang tadinya cerah berubah menjadi mendung dan gelap itulah Tasahea melihat burung garuda raksasa terbang mendekatinya. Dengan suaranya yang menggelegar, burung raksasa tersebut siap menyerang dan memangsa belum sempat menyentuhnya, sayap si garuda tertusuk oleh bambu runcing beracun. Burung garuda raksasa pun mengerang ingin menyia-nyiakan kesempatan, Tasahea pun segera mengambil sebilah bambu runcing beracun yang ada di sampingnya. Dan lantas melemparkannya dan mengenai bagian dada si burung garuda semakin meronta-ronta kesakitan. Ia pun memutuskan untuk terbang menjauh dari tempat itu. Di kepakkan sayapnya lagi untuk melepaskan diri dari bambu runcing beracun segera terbang tinggi namun tak berapa lama, tubuhnya pun terjatuh tepat di atas sebuah gunung. Tak lama berselang, sang Garuda akhirnya mati terkena efek racun bambu negeri Sorume bersorak-sorak mengelu-elukan Tasahea sebagai kegembiraan rakyat tidak berlangsung lama. Bangkai burung garuda raksasa ternyata menyebarkan wabah penyakit. Banyak penduduk meninggal setelah muntah-muntah karena wabah penyakit. Begitu pula tanaman penduduk banyak mati diserang hal ini para tetua adat kembali mengirim utusan untuk menemui Larumbalangi. Sesampainya di negeri Solumba, para utusan menyampaikan permasalahan wabah yang berasal dari bangkai burung garuda Kongga kepada hal ini, Larumbalangi segera berdoa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menurunkan hujan deras agar bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulat terbawa mengabulkan doa Larumbalangi. Negeri Sorume dilanda hujan sangat deras selama tujuh hari tujuh malam. Akibatnya Negeri Sorume mengalami banjir hebat. Banjir hebat tersebut membawa bangkai garuda raksasa beserta ulat-ulat hanyut terbawa hujan reda & banjir surut, wabah penyakit beserta ulat yang melanda negeri Sorume akhirnya hilang. Rakyat negeri Sorume bergembira, akhirnya kedamaian bisa hadir di negeri menghargai jasa Tasahea & Larumbalangi, para tetua ada sepakat mengangkat Tasahea menjadi bangsawan. Sedangkan Larumbalangi diangkat sebagai pemimpin negeri tempat jatuhnya burung garuda raksasa tersebut pun diberi nama Gunung Mekongga. Simak Video "Dataran yang Terangkat, Kisah Puncak Khayangan Wakatobi " [GambasVideo 20detik] edr/alk
Mawasangka merupakan penamaan yang ditujukan bagi kelompok masyarakat yang ada di Sulawesi Tenggara. Mawasangka merupakan kelompok masyarakat yang mendiami sebuah kecamatan di Kabupaten Buton Tengah, Provinsi Sulawesi Tenggara. Nama Mawasangka tidak hanya ditujukan untuk kelompok masyarakat, tetapi juga diabadikan dalam nama sebuah Mawasangka pada orang-orang di Kecamatan Mawasangka, Kabupaten Buton Tengah, menyimpan kisah yang panjang. Baca juga Cerita Rakyat Batu Kurimbang Alang Asal Usul Nama Mawasangka Menurut tradisi lisan masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Buton Tengah, di balik nama Mawasangka ada kisah yang panjang menyertainya. Dikisahkan, dahulu ada sebuah keluarga yang datang dari Bone menuju Buton dengan menggunakan perahu. Tujuan kedatangan mereka ke Buton adalah untuk mencari kakak dari seorang perempuan. Perempuan itu pergi ke Buton bersama suaminya. Kakaknya perempuan ini telah lama meninggalkan tanah kelahirannya di Bone sepeninggal orang tuanya. Ketika dalam perjalanan menuju lokasi yang menjadi tempat kepergian kakaknya ini, cuaca kurang bersahabat dengan mereka. Perahu yang mereka tumpanginya kemudian terbalik. Bekal tak dapat diselamatkan, kecuali hanya seekor ayam jantan. Akibatnya suami istri itu terdampar di sebuah pantai dan mendirikan pondok kecil dan mencari makan di sekitar pantai tersebut. Di saat suaminya sedang mencari makanan ke hutan, munculah seorang pemuda yang membawa seekor ayam jantan. Baca juga Cerita Rakyat Batu Prasasti Pagaruyung I Pemuda ini berniat menyabung ayam miliknya dengan seekor ayam di pantai itu yang tidak lain adalah milik pasangan suami istri tadi. Anehnya, kedua ayam tersebut tidak mau berkelahi. Pemuda ini pun bingung dengan kedua ayam yang tak biasanya itu. Di tengah kebingungannya, pemuda ini melihat seorang perempuan di pondok. Ketika suami sang perempuan telah kembali, pemuda ini pun menghampiri mereka. Ketika sedang berbincang, pemuda dan perempuan ini menyadari ada yang janggal. Mereka berdua sama-sama mengenakan cincin yang sama di jarinya yang merupakan pemberian dari mendiang orang tuanya. Perempuan ini kemudian menyadari bahwa pemuda yang membawa ayam ini adalah cerita, pemuda tadi memberitahukan lokasi yang layak untuk bermukim. Kemudian, berangkatlah mereka ke lokasi yang bernama Mparigi. Di Mparigi, mereka hidup seperti biasanya dan beranak-pinak sehingga lama kelamaan kampung itu telah ramai oleh masyarakat. Kemudian, masyarakat mengangkat pemuda tadi seorang kepala suku mereka yang disebut dengan Kolakino Mparigi. Desa yang mereka tempati suatu ketika mulai sering mendapat serangan dari binatang. Akhirnya, kepala suku Mparigi melaporkan keluhannya kepada kepala suku lain, Kolakino La Mansenga. Kemudian oleh kepala suku itu, diberitahukan ada sebuah lokasi yang aman dan damai. Lokasi ini memiliki sebuah pohon besar yang daun dan buahnya beraneka ragam. Oleh karena itu, lokasi baru ini diberi nama Sau Sumangka yang artinya serba lengkap. Mereka kemudian memindahkan kampungnya di sana. Baca juga Danau Biru Kolaka Daya Tarik, Cerita Rakyat, dan Rute Setelah sekian lama, Kolakino Mpagi mendeklarasikan bahwa ialah yang pertama kali menemukan pohon ajaib itu. Namun, Kolakino La Mansenga menyangkal klaim dari Mparigi hingga terjadilah pertengkaran antara keduanya. Akibatnya, Mpasenga mengeluarkan sumpah di hadapan masyarakat, apabila benar ia yang pertama menemukan pohon itu, maka tanah sekitar pohon itu akan selalu ditimpa musibah bilmana suku Kolakino Mparigi mengelolanya. Sebaliknya, jika benar Mparigi yang pertama menemukan pohon ajaib itu, maka semoga senantiasa dilimpahi keselamatan. Benar saja, terjadilah musibah-musibah aneh di sekitar pohon itu yang berarti Kolakino La Mansenga merupakan orang pertama yang menemukan pohon itu. Semua yang ditanam oleh rakyat Mparigi mengalami gagal panen, segala ternak mengalami kematian tidak jelas, serta terjadilah musibah-musibah lainnya. Kejadian aneh yang lain adalah ketika seorang menggali ubi, tiba-tiba memancarkan air dari galian itu yang mengakibatkan kebun-kebun tergenang dan masyarakat kelaparan. Tetua dusun kemudian berunding akan melakukan upacara adat membersihkan musibah. Kemudian, disembelihlah ayam yang dibawa oleh sepasang suami istri dari Bone itu sebagai persembahan agar tidak terjadi lagi musibah. Kemudian, tempat itu dikenal dengan nama pohon ajaib itu, La Sumangka. Lambat laun, masyarakat menyebutnya menjadi Mawasangka. Baca juga Cerita Rakyat Antu Bisiak, Misteri Suara Bisikan Referensi Rasyid, A. 1998. Cerita Rakyat Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Sulawesi Tenggara - Indonesia Rating 25 pemilih Gunung Mekongga memiliki ketinggian m di atas permukaan laut, terletak di Kecamatan Ranteangin, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara, Indonesia. Menurut bahasa setempat, kata gunung mekongga berarti gunung tempat matinya seekor elang atau garuda raksasa yang ditaklukkan oleh seorang pemuda bernama Tasahea dari negeri Loeya. Peristiwa apakah gerangan yang terjadi di daerah itu, sehingga Tasahea menaklukkan burung garuda itu? Lalu, bagaimana cara Tasahea menaklukkannya? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita Asal Mula Nama Gunung Mekongga berikut ini. * * * Alkisah, pada suatu waktu negeri Sorume kini bernama negeri Kolaka dilanda sebuah malapetaka yang sangat dahsyat. Seekor burung garuda raksasa tiba-tiba mengacaukan negeri itu. Setiap hari burung itu menyambar, membawa terbang, dan memangsa binatang ternak milik penduduk, baik itu kerbau, sapi, atau pun kambing. Jika keadaan itu berlangsung terus-menerus, maka lama-kelamaan binatang ternak penduduk akan habis. Penduduk negeri Kolaka pun diselimuti perasaan khawatir dan cemas. Jika suatu saat binatang ternak sudah habis, giliran mereka yang akan menjadi santapan burung garuda itu. Itulah sebabnya mereka takut pergi ke luar rumah mencari nafkah. Terutama penduduk yang sering melewati sebuah padang luas yang bernama Padang Bende. Padang ini merupakan pusat lalu-lintas penduduk menuju ke kebun masing-masing. Sejak kehadiran burung garuda itu, padang ini menjadi sangat sepi, karena tidak seorang pun penduduk yang berani melewatinya. Pada suatu hari, terdengarlah sebuah kabar bahwa di negeri Solumba kini bernama Belandete ada seorang cerdik pandai dan sakti yang bernama Larumbalangi. Ia memiliki sebilah keris dan selembar sarung pusaka yang dapat digunakan terbang. Maka diutuslah beberapa orang penduduk untuk menemui orang sakti itu di negeri Solumba. Agar tidak disambar burung garuda, mereka menyusuri hutan lebat dan menyelinap di balik pepohonan besar. Sesampainya di negeri Solumba, utusan itu pun menceritakan peristiwa yang sedang menimpa negeri mereka kepada Larumbalangi. ”Kalian jangan khawatir dengan keadaan ini. Tanpa aku terlibat langsung pun, kalian dapat mengatasi keganasan burung garuda itu,” ujar Larumbalangi sambil tersenyum simpul. ”Bagaimana caranya? Jangankan melawan burung garuda itu, keluar dari rumah saja kami tidak berani,” ucap salah seorang utusan. ”Begini saudara-saudara. Kumpulkan buluh bambu yang sudah tua, lalu buatlah bambu runcing sebanyak-banyaknya. Setelah itu carilah seorang laki-laki pemberani dan perkasa untuk dijadikan umpan burung garuda itu di tengah padang. Kemudian, pagari orang itu dengan bambu runcing dan ranjau!” perintah Larumbalangi. Setelah mendengar penjelasan itu, para utusan kembali ke negerinya untuk menyampaikan pesan Larumbalangi. Penduduk negeri itu pun segera mengundang para kesatria, baik yang ada di negeri sendiri maupun dari negeri lain, untuk mengikuti sayembara menaklukkan burung garuda. Keesokan harinya, ratusan kesatria datang dari berbagai negeri untuk memenuhi undangan tersebut. Mereka berkumpul di halaman rumah sesepuh Negeri Kolaka. ”Wahai saudara-saudara! Barangsiapa yang terpilih menjadi umpan dan berhasil menaklukkan burung garuda itu, jika ia seorang budak, maka dia akan diangkat menjadi bangsawan, dan jika ia seorang bangsawan, maka dia akan diangkat menjadi pemimpin negeri ini,” sesepuh negeri itu memberi sambutan. Setelah itu, sayembara pun dilaksanakan dengan penuh ketegangan. Masing-masing peserta memperlihatkan kesaktian dan kekuatannya. Setelah melalui penyaringan yang ketat, akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh seorang budak laki-laki bernama Tasahea dari negeri Loeya. Pada waktu yang telah ditentukan, Tasahea dibawa ke Padang Bende untuk dijadikan umpan burung garuda. Ketika berada di tengah-tengah padang tersebut, budak itu dipagari puluhan bambu runcing. Ia kemudian dibekali sebatang bambu runcing yang sudah dibubuhi racun. Setelah semuanya siap, para warga segera bersembunyi di balik rimbunnya pepohonan hutan di sekitar padang tersebut. Tinggallah Tasahea seorang diri di tengah lapangan menunggu kedatangan burung garuda itu. Menjelang tengah hari, cuaca yang semula cerah tiba-tiba berubah menjadi mendung. Itu pertanda bahwa burung garuda sedang mengintai mangsanya. Alangkah senang hati burung garuda itu saat melihat sosok manusia sedang berdiri di tengah Padang Bende. Oleh karena sudah sangat kelaparan, ia pun segera terbang merendah menyambar Tasahea. Namun, malang nasib burung garuda itu. Belum sempat cakarnya mencengkeram Tasahea, tubuh dan sayapnya sudah tertusuk bambu runcing terlebih dahulu. ”Koeeek... Koeeek... Koeeek... !!!” pekik burung garuda itu kesakitan. Tasahea pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan cekatan, ia melemparkan bambu runcingnya ke arah dada burung garuda itu. Dengan suara keras, burung garuda itu kembali menjerit kesakitan sambil mengepak-epakkan sayapnya. Setelah sayapnya terlepas dari tusukan bambu runcing, burung itu terbang tinggi menuju Kampung Pomalaa dengan melewati Kampung Ladongi, Torobulu, Amesiu, Malili, dan Palau Maniang. Akan tetapi, sebelum sampai Pomalaa, ia terjatuh di puncak gunung yang tinggi, karena kehabisan tenaga. Akhirnya ia pun mati di tempat itu. Tasahea menombak burung garuda Sementara itu, penduduk negeri Kolaka menyambut gembira Tasahea yang telah berhasil menaklukkan burung garuda itu. Mereka pun mengadakan pesta selama tujuh hari tujuh malam. Namun, ketika memasuki hari ketujuh yang merupakan puncak dari pesta tersebut, tiba-tiba mereka mencium bau bangkai yang sangat menyengat. Pada saat itu, tersebarlah wabah penyakit mematikan. Banyak penduduk meninggal dunia terserang sakit perut dan muntah-muntah. Sungai, pepohonan, dan tanaman penduduk dipenuhi ulat. Tak satu pun tanaman penduduk yang dapat dipetik hasilnya, karena habis dimakan ulat. Akibatnya, banyak penduduk yang mati kelaparan. Penduduk yang masih tersisa kembali panik dan cemas melihat kondisi yang mengerikan itu. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mereka pun segera mengutus beberapa orang ke negeri Solumba untuk menemui Larumbalangi. ”Negeri kami dilanda musibah lagi,” lapor salah seorang utusan. ”Musibah apalagi yang menimpa kalian?” tanya Larumbalangi kepada utusan yang baru datang dengan tergopoh-gopoh. ”Iya, Tuan! Negeri kami kembali dilanda bencana yang sangat mengerikan,” jawab seorang utusan lainnya, seraya menceritakan semua perihal yang terjadi di negeri mereka. ”Baiklah, kalau begitu keadaannya. Kembalilah ke negeri kalian. Tidak lama lagi musibah ini akan segera berakhir,” ujar Larumbalangi. Setelah para utusan tersebut pergi, Larumbalangi segera memejamkan mata dan memusatkan konsentrasinya. Mulutnya komat-kamit membaca doa sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit. ”Ya Tuhan! Selamatkanlah penduduk negeri Kolaka dari bencana ini. Turunkanlah hujan deras, agar bangkai burung garuda dan ulat-ulat itu hanyut terbawa arus banjir!” demikian doa Larumbalangi. Beberapa saat kemudian, Tuhan pun mengabulkan permohonan Larumbalangi. Cuaca di negeri Kolaka yang semula cerah, tiba-tiba menjadi gelap gulita. Awan tiba-tiba menggumpal menjadi hitam. Tidak berapa lama, terdengarlah suara guntur bersahut-sahutan diiringi suara petir menyambar sambung-menyambung. Hujan deras pun turun tanpa henti selama tujuh hari tujuh malam. Seluruh sungai yang ada di negeri Kolaka dilanda banjir besar. Bangkai dan tulang belulang burung garuda itu pun terbawa arus air sungai. Demikian pula ulat-ulat yang melekat di dedaunan dan pepohonan, semuanya hanyut ke laut. Itulah sebabnya laut di daerah Kolaka terdapat banyak ikan dan batu karangnya. Gunung tempat jatuh dan terbunuhnya burung garuda itu dinamakan Gunung Mekongga, yang artinya gunung tempat matinya elang besar atau garuda. Sementara sungai besar tempat hanyutnya bangkai burung garuda dinamakan Sungai Lamekongga, yaitu sungai tempat hanyutnya bangkai burung garuda. Budak laki-laki dari Negeri Loeya yang berhasil menaklukkan burung garuda tersebut diangkat derajatnya menjadi seorang bangsawan. Sedangkan Larumbalangi yang berasal dari negeri Solumba diangkat menjadi pemimpin Negeri Kolaka, yaitu negeri yang memiliki tujuh bagian wilayah pemerintahan yang dikenal dengan sebutan ”Tonomotuo”. * * * Demikian ceita Asal Mula Nama Gunung Mekongga dari daerah Kolaka, Sulawesi Tenggara, Indonesia. Cerita di atas termasuk kategori mitos yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah keutamaan sifat tidak mudah putus asa. Orang yang tidak mudah berputus asa adalah termasuk orang yang senantiasa berpikiran jauh ke depan dan pantang menyerah jika ditimpa musibah. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku masyarakat Kolaka yang ditimpa musibah. Mereka tidak pernah berputus asa untuk mencari bantuan agar negeri mereka terbebas dari bencana. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu yang berpikiran jauh,ditimpa musibah pantang mengeluh yang berpikiran jauh,tahu mencari tempat berteduh Samsuni /sas/97/09-08 Sumber Isi cerita diadaptasi dari Sidu, La Ode. 1999. Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara. Jakarta - 29k, diakses tanggal 3 September Tenas. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan AdiCita Karya Nusa. Kredit foto Dibaca kali Hak Cipta Telah Didaftarkan pada Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonseia Copyrights by Dilarang keras mendownload, menggunakan, dan menyebarluaskan cerita-cerita di website ini tanpa seizin penulis dan Silahkan memberikan rating anda terhadap cerita ini. Komentar untuk "" Berikan Komentar Anda
Langsung ke konten Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur Beranda Daftar Isi Hubungi Kami Tentang Kami Dongeng Dunia Fabel Cerita Anak Legenda Cerita Rakyat Nusantara Cerita Rakyat dari Sulawesi Tenggara Ksatria Dan Burung Garuda 18 Maret 2016 dongeng cerita rakyat Apakah kalian tahu burung Garuda yang menjadi lambang negara kita? Konon burung Garuda sangat besar dan kuat. Cerita Rakyat dari… Lanjutkan Membaca → Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara Kisah La Sirimbone 17 Juli 2015 dongeng cerita rakyat Tinggalkan komentar Kebaikan hati La Sirimbone pada Cerita Rakyat Sulawesi Tenggara membawa dia kepada keberuntungan. Orang yang baik hati akan disayangi oleh… Lanjutkan Membaca → Kebijakan Privasi Hak cipta © 2023 Cerita Rakyat Nusantara Kumpulan Dongeng Anak Anak Sebelum Tidur — Tema WordPress Ascension oleh GoDaddy
0% found this document useful 0 votes3K views7 pagesCopyright© Attribution Non-Commercial BY-NCAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?0% found this document useful 0 votes3K views7 pagesCerita Rakyat Dari Sulawesi TenggaraJump to Page You are on page 1of 7 You're Reading a Free Preview Pages 4 to 6 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Kamu sedang mencari bacaan untuk menghabiskan waktu luang? Bila ingin membaca cerita rakyat Nusantara, kisah dari Sulawesi Selatan berjudul Oheo mungkin bisa kamu jadikan pilihan. Kisah lengkapnya bisa kamu baca di artikel ini!Sulawesi Tenggara memiliki banyak legenda atau cerita rakyat. Selain La Sirimbone, La Moelu, dan Gunung Mekongga, ada pula cerita rakyat Oheo. Legenda tersebut memiliki kisah yang menarik dan sarat adalah seorang pemuda yang bekerja sebagai petani tebu. Dalam cerita rakyat ini, ia mencuri selendang dari Bidadari yang sedang mandi di sebuah sungai. Sempat tak mengakui perbuatannya, pemuda itu akhirnya meminta sang Bidadari untuk menikah bagaimanakah kelanjutan cerita rakyat Oheo? Apakah bidadari itu setuju menikah dengannya? Kalau penasaran, teruskan saja membaca artikel ini. Tak hanya kisahnya saja, berikut ini telah kami paparkan juga unsur intrinsik, pesan moral, dan fakta menariknya. Selamat membaca!Cerita Rakyat Oheo Pada zaman dahulu, hiduplah seorang pemuda bernama Oheo yang tinggal di sebuah desa kecil di Sulawesi Tenggara. Untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya, ia bekerja sebagai seorang petani tebu. Tiap pagi, ia pergi ke hutan untuk mengunduh tebu. Di dalam hutan itu terdapat sungai yang airnya sangat jernih. Usai mengunduh tebu, ia mencucinya di sungai sambil melihat burung-burung nuri yang sedang asyik bermain air. Pada suatu siang, Oheo yang hendak ke sungai untuk mencuci tebu, mendengar suara para gadis. Ia lalu mengintip sungai itu dari balik pohon. Ternyata, ada 7 bidadari cantik yang sedang mandi di sungai itu. “Wah, baru kali ini aku melihat para-paras cantik bidadari. Aku ingin menikahi salah satu dari mereka. Tapi, bagaimana caranya, ya?” ucap pria itu dalam hati. Saat sedang berpikir, ia melihat selendang miliki para bidadari itu yang letaknya tak jauh dari persembunyiannya. Dengan cepat dan acak, ia mengambil salah satu selendang. “Mungkin saja aku bisa menikahi pemilik selendang ini,” ujarnya dalam hati. Ia lalu menyembunyikan kain itu di ujung kasau bambu. Kemudian, ia kembali ke sungai untuk melihat siapakah pemiliki selendang itu. Ia lalu mendapati sang bidadari sedang kebingungan mencari selendangnya. Ia tak bisa kembali ke khayangan. Sedangkan bidadari yang lain sudah kembali ke khayangan terlebih dahulu. Baca juga Cerita Rakyat Asal-Usul Gunung Pinang dan Ulasan Lengkapnya, Kisah Seorang Anak Laki-Laki yang Durhaka Mendekati Sang Bidadari “Hmm, cantik sekali bidadari ini. Aku akan lekas mendekatinya,” ucap Oheo dalam hati. Ia lalu berjalan mendekati wanita itu. “Hai, wanita cantik. Apa yang kau lakukan di sini? Siapa namamu?” tanya pria itu pura-pura tidak tahu. “Namaku Putri Anawai. Aku sedang mencari-cari selendangku. Apakah kamu melihatnya?” tanya Putri. “Selendang? Aku tak melihatnya,” ucap Oheo berbohong. “Benarkah kamu tak melihatnya? Tidak ada orang lain di hutan ini selain kamu. Jangan-jangan kamu menyembunyikannya?” tanya sang Putri memelas. “Kenapa kau menuduhku? Akan aku bantu mencari selendangmu. Tapi, jika aku berhasil menemukannya, kamu harus menikahiku!” ucap pria itu. “Aku tidak mau! Tujuanku mencari selendangku adalah untuk kembali ke asalku. Aku bisa mencarinya sendiri. Kau tak perlu membantuku,” bentak Putri Anawai. Lalu, Putri Anawai mencari ke seluruh penjuru sungai dan hutan. Tapi, ia tak kunjung menemukan selendenganya. Hingga akhirnya, ia pun kelelahahn dan menangis karena tak bisa pulang. Setelah itu, Oheo kembali menemui Putri Anawai yang sedang putus asa. Ia lalu menunjukkan selendang milik bidadari itu. “Inikah yang kamu cari?” ucap Oheo. “Benar kataku! Kau menyembunyikan selendangku! Cepat kembalikan milikku sekarang juga!” bentak Putri Anawai. “Tidak semudah itu, Putri. Aku akan mengembalikannya jika kamu mau menikah denganku,” ucap Oheo memaksa. Perjanjian Pernikahan Awalnya, Putri Anawai menolak. Namun, karena tak bisa berkutik, ia pun menerima permintaan pria itu. “Baiklah, aku akan menerima tawaranmu. Tapi ada syarat yang harus kau penuhi!” ucap sang Putri. “Harusnya sedari tadi kau menerima tawaranku. Kenapa harus mempersulit hidupmu sendiri. Cepat ucapkan permintaanmu. Aku akan berusaha untuk mengabulkannya,” ucap petani tebu ini. “Aku tak ingin membereskan rumah. Kamu harus memperlakukanku dengan istimewa. Jika nanti aku punya anak darimu, kamulah yang harus membersihkan kotorannya,” ucap sang Putri. Tanpa pikir panjang, Oheo langsung menyetujui permintaan tersebut. “Baiklah, aku setuju dengan permintaanmu. Bagiku hal-hal tersebut tidaklah menjadi masalah buatku,” ucapnya. Kemudian, mereka pun melangsungkan pernikahan. Sesuai perjanjian, Putri Anawai tidak melakukan pekerjaan rumah. Mulai dari masak, membersihkan rumah, hingga bekerja, semua Oheo lakukan sendiri. Tak berselang lama setelah menikah, Putri Anawai pun hamil dan melahirkan. Setiap anaknya buang hajat, Oheo lah yang membersihkan kotorannya. Lama kelamaan, Oheo merasa tak terima. Ia kerap memarahi Putri Anawai. “Ini kan pekerjaan sederhana! Harusnya kamu tak perlu membuatku membersihkan kotoran bayi ini!” bentak pria itu. “Bukannya kau sudah berjanji bakal membersihkan kotoran anak kita? Kalau kau tak bisa menepatinya, cepat kembalikan selendangku. Lebih baik aku kembali ke khayangan,” ancam Putri Anawai. Merasa takut ditinggal oleh sang istri, Oheo pun menuruti perkataannya. Ia dengan sangat terpaksa membersihkan kotoran dari anak mereka. Setiap hari, ia juga memandikan dan mengganti baju sang anak. Tak Lagi Takut dengan Ancaman Putri Anawai Pada suatu hari, Putri Anawai berteriak-teriak memanggil suaminya. Alasannya karena sang anak buang air besar. Karena sedang lelah dan kesal, Oheo menolak permintaan sang istri. “Kali ini aku tak akan membersihkannya. Aku lelah!” ucap sang suami. “Bagaimana dengan janji-janjimu? Kau hendak mengingkari janjimu!” ucap Putri Anawai. “Ah terserah! Jika kau ingin kembali ke khayangan, kembalilah! Aku tak peduli lagi dengan janji kita!” bentak Oheo seraya meninggalkan rumah. Putri Anawai lalu membersihkan kotoran anaknya sambil menangis. Ia teringat akan janji-janji suaminya di masa lalu. Tak hanya itu, dirinya juga teringat dengan kehidupannya semasa di khayangan. Karena itu, ia pun memutuskan untuk kembali ke khayangan. Ia berusaha mencari selendangnya di rumah. Tak lama kemudian, ia pun berhasil menemukannya. Ia lalu mencium anaknya sambil menangis. “Maafkan aku, Nak! Ayahmu telah ingkar janji. Ibu tak bisa hidup seperti ini. Maafkan Ibu harus meninggalkanmu,” ucap Putri Anawai sambil memeluk anak bayinya. Ia lalu mengenakan selendangnya dan kembali ke khayangan. Kembalinya ke rumah, Oheo terkejut mendengar anaknya menangis sendirian. Ia pun mencari-cari istrinya, tapi tak kunjung ketemu. Lalu, ia melihat tempatnya menyimpan selendang. “Ah, kamu ternyata benar-benar kembali ke khayangan,” ucapnya menyesal telah membentak Putri Anawai. Merawat Anak Seorang Diri Oheo merasa kesulitan merawat anaknya seorang diri. Tiap hari ia menggendong anaknya yang menangis minta susu. Karena sudah tak kuat lagi melihat anaknya menangis, ia pun mencari tahu bagaimana cara pergi ke khayangan. Ia sangat ingin bertemu dengan Putri Anawai. Setelah mencari-cari tahu, ia akhirnya berhasil mendapatkan informasi penting. Menurut para warga, Oheo harus menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan pergi ke khayangan. Dengan membawa anaknya, Oheo pun memberanikan diri untuk menemui orang-orang Suku Tolaki. Ia mengatakan alasannya ingin pergi ke khayangan dengan anaknya. Pemimpin Suku Tolaki pun setuju untuk membantunya. Tapi, ada syarat yang harus ia penuhi. Syarat tersebut cukup sulit, yakni Oheo harus membuat cincin dari rotan bernama ue wai yang tumbuh di hutan belantara. Meski berat, dengan senang hati Oheo mencari rotan ue wai sambil menggendong anaknya. Ia sangat menyesal telah memperlakukan sang istri dengan sangat buruk. Setelah berhasil membuat banyak cincin, Oheo kembali menemui Suku Tolaki. Kemudian, pemimpin suku itu memintanya memeluk erat-erat sang anak dan duduk di atas cincin-cincin yang terbuat dari ue wai tersebut. Pemimpin Suku Tolaki juga berpesan, “Tutuplah matamu. Jika nanti ada suara pertama, jangan buka mata. Tetaplah tutup matamu da gendong erat-erat anakmu. Jika kau sudah mendengarkan suara kedua, bukalah matamu.” Baca juga Cerita Rakyat Ular Kepala Tujuh dari Bengkulu & Ulasan Menariknya, Bukti Kerendahan Hati dan Keberanian Bisa Mengalahkan Kekejian Tiba di Khayangan Oheo mengikuti saran kepala Suku Tolaki tersebut. Setelah mendengar suara kedua, ia telah berada di khayangan. Keberadaannya pun diketahui oleh salah satu bidadari khayangan. Dengan cepat, bidadari itu melaporkan keberadaan Oheo pada sang Raja. “Tuan, aku melihat seorang pria manusia bersama anaknya di halaman khayangan. Tampaknya, pria itu adalah Oheo yang sempat mencuri selendang Putri Anawai,” ucapnya. Sang Raja terkejut, “Bagaimana bisa ia sampai ke sini? Baiklah, aku akan mengurusnya. Sampaikan pada Putri Anawai bahwa suami dan anaknya datang kemari.” Setelah itu, Raja menemui Oheo. “Wahai manusia, bagaimana kau datang kemari? Apa tujuanmu sebenarnya?” tanya sang Raja. “Mohon maaf, Baginda Raja. Nama saya Oheo, suami dari Putri Anawai kala di bumi. Tujuan kedatatangan saya adalah untuk minta maaf pada Putri Anawai. Dan putra kecil ini adalah anak kami. Ia setiap hari menangis mencari ibunya,” ucap Oheo. “Hmm, pertama-tama, perbuatanmu mencuri selendang anakku, Putri Anawai, itu salah. Kedua, kau tak seharusnya mengkhianati janji kalian. Meski begitu, aku menghargai usahamu untuk beremu dengan anakku,” ucap sang Raja dengan bijak. “Saya mengaku salah, Raja. Saya ke mari hendak meminta maaf dan mengakui segala kesalahan saya. Demi anak kami, saya rela melakukan apa pun asal Putri Anawai mau kembali ke bumi,” ucap Oheo. “Tentu tak semudah itu, Pemuda! Ada syarat yang harus kau penuhi untuk bisa membawa kembali putriku ke bumi. Untuk saat ini, aku melarangmu bertemu dengan anakku,” ucap sang Raja. “Syarat apa yang harus kupenuhi, Baginda Raja?” tanya pemuda itu, “Pertama, kamu harus mampu menumbangkan batu-batu besar di khayangan ini. Kedua, kamu harus memungut bibit pada yang tertabur di padang rumput hingga bersih tanpa tersisa sedikit pun. Terakhir, kamu harus menemukan istrimu di tempat yang sangat gelap. Kalau gagal satu saja ujian, kau akan kukembalikan ke bumi tanpa Putri Anawai,” ucap sang Raja. Menjalankan Setiap Misi Ia berhasil menjalankan misi pertama dan kedua. Hal itu karena ia mendapatkan bantuan dari para hewan di khayangan, seperti tikus dan burung. Namun, ia tak yakin dengan ujian terakhir. “Bagaimana mungkin aku bisa menemukan Putri Anawai di tempat yang gelap gulita?” ucap Oheo dalam hati. Ia merasa misi ketiganya ini tak akan bisa ia selesaikan. Ia pun sedih teringat nasib anaknya yang tumbuh tanpa seorang ibu. Dalam keadaan bingung dan panik, tiba-tiba saja ada seekor kunang-kunang mendatanginya. “Apa yang sedang kau pikirkan? Tampaknya kau sangat bingung,” tanya kunang-kunang itu. “Hai, kunang-kunang. Aku mendapatkan tiga tugas yang sangat berat dari Raja. Kedua tugas sudah kuselesaikan. Kurang satu tugas terakhir yang tampaknya tak bisa kuselesaikan,” ucap Oheo lemas. “Memangnya, apa tugas terakhirmu? Barangkali aku bisa memberimu bantuan,” ucap kunang-kunang. “Aku harus menemukan istriku di sebuah kamar yang gelap gulita. Sedangkan dalam kamar itu terdapat saudara-saudaranya. Mana bisa aku asal pilih wanita. Jika aka salah pilih, bisa-bisa Raja mengembalikanku dan anakku ke bumi tanpa Putri Anawai,” jelas Oheo. “Oh, jadi begitu rupanya. Kamu tidak perlu cemas. Aku akan membantumu,” ucap binatang kecil itu. “Bagaimana caranya kau membantuku?” tanyanya. “Lihatlah ekorku, bercahaya bukan? Nah, aku akan hinggap di setiap wanita yang ada di kamar itu, tugasmu adalah memastikan, wanita mana yang merupakan istrimu,” ujar kunang-kunang. “Wah, ide yang sangat cemerlang kunang-kunang. Terima kasih mau membantuku,” ujar Oheo. Saat malam menjelang, hati Oheo pun makin gelisah. Meski akan mendapatkan bantuan dari kunang-kunang, ia tetap khawatir tidak bisa menyelesaikan misi terakhir. “Ini adalah misi terakhir yang menentukan apakah aku akan berhasil membawa pulang Putri Anawai atau tidak. Jika gagal, sungguh aku teramat kasihan dengan anakku,” ucap Oheo merasa cemas. Menjalankan Misi Terakhir Tibalah saatnya misi terakhir tuk Oheo selesaikan. Ia bersama dengan kunang-kunang memasuki sebuah ruangan yang gelap gulita. Perlahan-lahan, kunang-kunang itu menghinggapi satu persatu wanita yang ada di ruangan itu. Setelah beberapa wanita terlewati, berhasilah Oheo menemukan istrinya. Pria itu tersenyum lebar. Ia langsung memegang tangan istrinya dan berkata, “Putri Anawai, maafkan aku. Aku berjanji tak akan membuatmu membersihkan kotoran anak kita lagi. Kumohon kembalilah. Anak kita menangis mencarimu setiap hari,” ucap Oheo. Karena berhasil menuntaskan ketiga tugas dari Raja, Oheo pun diperbolehkan membawa pulang Putri Anawai. Hanya saja, sang Putri tampak kesal dan agak keberatan. Ia sebenarnya tak ingin kembali ke bumi. Namun, karena Raja telah mengutusnya, mau tak mau Putri Anawai, kembali ke bumi dan tinggal dengan Oheo. Mereka lalu turun ke bumi menggunakan seutas tali. Sesuai dengan janjinya, Oheo selalu membersihkan kotoran anaknya. Ia juga tak lagi membentak sang istri. Untuk mempermudah merawat anak, Oheo membuat pekarangan tebu di sekitar rumahnya. Ia tiap pagi hingga sore bekerja di pekarangan. Ketika si kecil buang air besar, dengan sigap pria itu membersihkannya. Ketulusan hati dan kegigihan Oheo membuat Putri Anawai terkesima. Sang bidadari itu pun lama kelamaan mencintai suaminya. Karena telah cinta, Putri Anawai dengan sukarela membersihkan kotoran anaknya. Ia juga terkadang membantu suaminya bekerja di pekarangan. “Karena telah tinggal di bumi, aku akan hidup layaknya seorang manusia yang bekerja dan saling membantu, Suamiku,” ucapnya pada sang suami. Kini, mereka pun hidup makmur dan bahagia. Hasil perkebunan tebu milik Oheo sangatlah berlimpah. Tak jarang, Raja dan para bidadari lainnya berkunjung ke rumah Oheo dan Putri Anawai. Baca juga Legenda Putri Ular dari Bengkulu dan Ulasannya, Kisah Seorang Putri Cantik yang Berubah Menjadi Ular Unsur Intrinsik Usai membaca cerita rakyat Oheo dan Putri Anawai, kurang lengkap rasanya bila kamu tak menyimak unsur intrinsiknya. Mulai dari tema hingga pesan moralnya, berikut adalah ulasan singkatnya; 1. Tema Inti cerita atau tema cerita rakyat Oheo adalah tentang pernikahan seorang manusia biasa dengan bidadari. Sesuai kesepakatan, bidadari mau menikah dengan manusia. Tapi, manusia itu melanggar janji sehingga bidadari pun murka dan memutuskan tuk kembali ke khayangan. Namun, karena perjuangan si manusia, akhirnya bidadari itu mau kembali ke bumi lagi. 2. Tokoh dan Perwatakan Ada dua tokoh utama dalam cerita rakyat ini, yaitu Oheo dan Putri Anawai. Awalnya, Oheo digambarkan sebagai petani tebu yang tak berperesaan karena tega mengambil salah satu selendang dari para bidadari. Ia bahkan memaksa sang pemilik selendang itu untuk menikah dengannya. Mereka lalu menikah dengan beberapa peryaratan. Akan tetapi, petani tebu ini mengingkari janjinya. Meski begitu, pada akhir cerita Oheo mampu mengubah sikapnya. Ia menjadi pria sejati yang tulus dan gigih mencintai istrinya. Sementara itu, Putri Anawai digambarkan sebagai sosok bidadari yang cantik jelita. Ia mengalami masa yang sulit dan berat karena selendangnya dicuri oleh Oheo. Karena itu, sikapnya menjadi egois dan maunya menang sendiri. Pada akhirnya, ia bersikap baik setelah mendapatkan perlakuan baik dan tulus dari Oheo. Selain mereka berdua, kisah ini juga memiliki tokoh pendukung yang turut mewarnai jalan ceritanya. Ia adalah sang Raja alias ayah dari Putri Anawai. Cerita ini menggambarkan sang Raja sebagai sosok yang bijak dan baik hati. 3. Latar Legenda ini menggunakan beberapa latar tempat. Pada awal cerita, latar yang digunakan adalah hutan, sungai, dan kebun tebu. Lalu, cerita berpindah ke rumah Oheo, tempat Suku Tolaki, dan khayangan. 4. Alur Cerita Rakyat Oheo Cerita rakyat Oheo memiliki alur maju. Kisahnya bermula dari seorang pemuda bernama Oheo yang mengambil selendang bidadari bernama Putri Anawai. Oheo lalu memaksa Putri Anawai untuk menikah dengannya. Dengan syarat tak ingin membersihkan kotoran anaknya, sang bidadari cantik itu mau menikah dengan Oheo. Awalnya, pemuda itu menepati janjinya. Namun, ia melanggar janjinya. Putri Anawai pun murka dan memutuskan tuk pulang ke khayangan, meninggalkan anak dan suaminya. Tentu saja Oheo kelimpungan. Setiap hari anaknya menangis mencari ibunya. Karena itu, pria itu menemui Suku Tolaki untuk meminta bantuan agar bisa pergi ke khayangan untuk bertemu dengan istrinya. Suku Tolaki sanggup membantunya asalkan ia bisa membuat cincin-cincin dari rotan ue wai. Ia pun sanggup memenuhi persyaratan tersebut dan segera naik ke khayangan bersama sang anak. Sesampainya di sana, ia harus menjalankan tiga misi dari sang Raja untuk bisa membawa pulang Putri Anawai. Dibantu oleh beberapa hewan, ia sanggup menyelesaikan ketiga misi tersebut. Meski awalnya keberatan kembali ke bumi, akhirnya Putri Anawai pun luluh dengan kegigihan dan ketulusan hati Oheo. 5. Pesan Moral Apa sajakah pesan moral dari cerita rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara ini? Karena ceritanya cukup panjang, tentu saja ada beberapa pesan moral atau amanat yang bisa kamu petik. Pertama, janganlah mengambil apa yang bukan milikmu. Kamu tak akan tahu betapa berharganya benda tersebut bagi pemiliknya. Jangan seperti Oheo yang mengambil selendang milik Putri Anawai. Padahal, tanpa selendang itu, sang bidadari tak bisa kembali ke asalnya. Amanat kedua, janganlah kamu memaksakan kehendak dan keinginanmu. Ketiga, jangan mudah menyerah. Oheo tak putus asa dan terus berusaha untuk mendapatkan hati Putri Anawai. Ia menyesal telah mengingkari janjinya. Karena itu, ia berjuang mati-matian tuk bisa hidup kembali bersama dengan Putri Anawai. Amanat terakhir, hasil tidak akan pernah mengkhianati usaha. Karena telah berusaha dengan sepenuh hati, akhirnya Oheo berhasil membawa pulang Putri Anawai. Ketulusan dan kegigihan pria itu juga mampu meluluhkan perasaan Putri Anawai. Selain unsur-unsur intrinsiknya, jangan lupakan juga unsur ekstrinsik yang membangun cerita rakyat Oheo. Unsur ekstrinsik ini biasanya berhubungan dengan nilai moral, sosial, dan budaya. Baca juga Kisah tentang Si Kelingking Asal Jambi dan Ulasan Lengkapnya, Pelajaran untuk Tidak Meremehkan Penampilan Fisik Seseorang Fakta Menarik Kisah ini memiliki beberapa fakta menarik yang sayang untuk kamu lewatkan. Karena itu, yuk, simak langsung saja dua fakta menarik dari cerita rakyat Oheo berikut ini; 1. Ada Versi Cerita Lainnya Seperti cerita rakyat pada umumnya, legenda Oheo juga memiliki beragam versi cerita. Secara garis besar tetap sama, cerita rakyat Oheo mengisahkan tentang seorang pemuda yang mencuri selendang bidadari. Namun, pencurian itu dilakukannya lantaran kesal terhadap burung nuri yang kerap merusak ladang tebu miliknya. Setelah ia teliti asal mulanya, burung-burung nuri itu ternyata datang dari khayangan bersama dengan bidadari-bidadari cantik. Selain itu, perbedaan kisahnya juga terletak pada cara Oheo pergi ke khayangan. Ia tak membuat cincin dari rotan ue wei, melainkan memanjatnya. Rotan itu sangat tinggi sehingga bisa tembus sampai khayangan. Sesampainya di khayangan, kedatangannya tidak disambut dengan baik oleh Raja dan para bidadari. Mereka mengecamnya karena telah mencuri selendang milik Putri Anawai. Namun, karena merasa iba dengan anak Oheo dan Putri Anawai, sang Raja pun mengizinkan putrinya kembali ke bumi. 2. Mirip dengan Kisah Jaka Tarub dari Jawa Jika di Sulawesi Tenggara ada kisah Oheo, di Pulau Jawa populer dengan kisah Jaka Tarub. Kisah dalam kedua cerita rakyat tersebut hampir sama. Jaka Tarub juga mengambil salah satu selendang dari 7 bidadari yang sedang mandi di sebuah danau. Selendang itu ternyata milik Nawangwulan. Jaka Tarub menyembunyikan selendang itu lalu pura-pura menolong Nawangwulan. Setelah itu, mereka menikah dan tinggal bersama, kemudian memiliki momongan. Lambat laun, Nawangwulan menemukan bahwa selendangnya tersembunyi di lumbung padi. Sontak, hal tersebut membuatnya marah besar. Ia pun meninggalkan Jaka Tarub dan anaknya, kemudian kembali ke khayangan. Kadang-kadang Nawangwulan kembali ke bumi untuk menyusui anaknya. Akan tetapi, ia enggan menemui Jaka Tarub. Ia sangat marah dan tak akan pernah memaafkan pria yang telah membohonginya itu. Baca juga Legenda Asal Usul Danau Malawen dan Ulasannya, Sebuah Imbauan untuk Mendengarkan Nasihat Kedua Orang Tua Tambah Wawasan Lewat Cerita Rakyat Oheo dari Sulawesi Tenggara Ini Demikianlah artikel yang membahas tentang cerita rakyat Oheo yang berasal dari Sulawesi Tenggara. Semoga saja, membaca kisahnya bisa menambah wawasanmu tentang cerita-cerita Nusantara. Dari cerita ini, diharapkan juga kamu dapat memetik beberapa pesan moralnya. Kalau suka dengan kisahnya, bagikan artikel ini ke teman-teman, saudara, adik, atau anakmu. Teruntuk yang butuh kisah lainnya, langsung saja kepoin kanal Ruang Pena di Ada legenda Tanjung Menangis, kisah Putri Tangguk, asal-usul nama Balikpapan, dan masih banyak lagi. Selamat membaca! PenulisRinta NarizaRinta Nariza, lulusan Universitas Kristen Satya Wacana jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, tapi kurang berbakat menjadi seorang guru. Baginya, menulis bukan sekadar hobi tapi upaya untuk melawan lupa. Penikmat film horor dan drama Asia, serta suka mengaitkan sifat orang dengan zodiaknya. EditorKhonita FitriSeorang penulis dan editor lulusan Universitas Diponegoro jurusan Bahasa Inggris. Passion terbesarnya adalah mempelajari berbagai bahasa asing. Selain bahasa, ambivert yang memiliki prinsip hidup "When there is a will, there's a way" untuk menikmati "hidangan" yang disuguhkan kehidupan ini juga menyukai musik instrumental, buku, genre thriller, dan misteri.
cerita rakyat dari sulawesi tenggara